BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kebijakan Pendidikan
Secara etimologis kata kebijakan disepadankan dengan
kata bahasa Inggris policy yang dibedakan
dari kata wisdom yang berarti
kebijaksanaan atau kearifan. Kata policy dapat pula dijumpai dalam
bahasa-bahasa lain seperti latin, yunani dan sankrit. Polita dalam bahasa latin berarti
Negara. Polis dalam bahasa yunani berarti
negara kota. Pur dalam bahasa
sanskrit berarti kota. Policie dalam
bahasa inggris
berarti: mengurus masalah atau kepentingan umum atau juga administrasi Negara.
Menurut Supandi, dari beberapa kata yang tersebut
menghasilkan tiga jenis pengertian yang
sekarang kita kenal, yaitu politic, policy dan polici. Politic berarti seni
dan ilmu pemerintahan,
policy berarti hal-hal mengenai kebijakan pemerintah,
sedangkan polici berarti hal-hal yang
berkenaan dengan pemerintahan.Sedangkan
secara terminologis istilah kebijakan memiliki arti yang sangat beragam
diantaranya: Menurut Ealau dan Prewitt, kebijakan
adalah sebuah
ketetapan yang berlaku yang dicirikan
oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang
membuatnya maupun yang mentaatinya (yang
terkena kebijakan itu). Kamus Webster memberi pengertian
kebijakan sebagai prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan
pengambilan keputusan. Titmuss mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang
mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu.
Kebijakan, menurut Titmuss,
senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi
kepada tindakan (action-oriented).
Pendidikan
di Indonesia mengemukakan pengertian
kebijakan dari beberapa ahli, diantaranya:
1.
Laswell
(1970) , kebijakan sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai
dan praktik yang terarah (a projected
program of goals value and practies).
2.
Anderson
(1979), Kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu
yang mesti diikuti dan diakukan
para pelakunya untuk memecahkan suatu masalah. (a purposive corse of problem or matter of
concern).
3.
Helco
(1977), memberiakan batasan kebijakan sebagai cara bertindak yang
sengaja dilaksanakan untuk menyelesaikan masalah-masalah.
sengaja dilaksanakan untuk menyelesaikan masalah-masalah.
4.
Amara
Raksasa Taya (1976) memberikan batasan kebijakan sebagai suatu taktik atau
strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan.
5.
Friedrik
(1963) memberikan batasan kebijaksanaan sebagai serangkaian tindakan yang
diajukan oleh seseorang, grup dan pemerintahan dalam lingkungan
tertentu dengan
mencantumkan kendala-kendala yang dihadapi serta kesempatan yang memungkinkan
pelaksanaan usulan tersebut dalam upaya mencapai tujuan. (a proposes course of action of a
person, group, or govermen with is given environment providing abtacles and
aportunities with the policy was proposed to utilize on objective or purpose).
Dari banyak pengertian tentang kebijakan di atas
banyak pemaparan yang sama
yaitu gambaran bahwa kebijakan adalah suatu proses yang sangat panjang dan kepentingan yang beragam. Di dalamnya terdapat ketetapan-ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
yaitu gambaran bahwa kebijakan adalah suatu proses yang sangat panjang dan kepentingan yang beragam. Di dalamnya terdapat ketetapan-ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
Ali Imron dalam bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan
menjelaskan bahwa kebijakan
pendidikan adalah salah satu kebijakan Negara. Carter V Good (1959) memberikan
pengertian kebijakan pendidikan (educational
policy) sebagai suatu pertimbangan
yang didasarkan atas system nilai dan beberapa penilaian atas faktor-faktor
yang bersifat situasional, pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk
mengopersikan pendidikan yang
bersifat melembaga. Pertimbangan tersebut merupakan
perencanaan yang dijadikan sebagai
pedoman untuk mengambil keputusan,
agar tujuan yang bersifat melembaga bisa tercapai.
Kebijakan pendidikan sangat erat hubungannya dengan
kebijakan yang ada dalam lingkup
kebijakan publik, misalnya kebijakan ekonomi, politik, luar negeri, keagamaan
dan lain-lain.
Konsekuensinya kebijakan pendidikan di Indonesia tidak bisa berdiri
sendiri. Ketika ada perubahan kebijakan publik maka kebijakan pendidikan
bisa berubah. Ketika kebijakan politik dalam dan luar negeri, kebijakan
pendidikan biasanya akan mengikuti alur kebijakan yang lebih luas. Bahkan
pergantian menteri dapat pula mengganti kebijakan yang telah mapan pada jamannya.
Bukan hal yang aneh,ganti menteri berganti kebijakan. Masih ingat di benak kita
ada pelajaran PSPB yang secara prinsipil tidak jauh berbeda dengan IPS sejarah
dan lucunya materi itu pun di pelajari di PMP (sekarang PKN/PPKN).
B.
Pengertian Negara
Berkembang
Negara berkembang adalah sebuah negara dengan
rata-rata pendapatan yang rendah, infrastruktur yang relatif terbelakang, dan
indeks perkembangan manusia yang kurang dibandingkan dengan norma global.
Istilah ini mulai menyingkirkan Dunia Ketiga, sebuah istilah yang digunakan
pada masa Perang Dingin.
Perkembangan mencakup perkembangan sebuah
infrastruktur modern (baik secara fisik maupun institusional) dan sebuah
pergerakan dari sektor bernilai tambah rendah seperti agrikultur dan
pengambilan sumber daya alam. Negara maju biasanya memiliki sistem ekonomi
berdasarkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan menahan-sendiri.
Penerapan istilah 'negara berkembang' ke seluruh negara yang kurang berkembang
dianggap tidak tepat bila kasus negara tersebut adalah sebuah negara miskin,
yaitu Negara yang tidak mengalami pertumbuhan situasi ekonominya, dan juga
telah mengalami periode penurunan ekonomi yang berkelanjutan (Anan, 2010)
C. Kebijaksanaan Pendidikan di
Negara-Negara Berkembang
Kebijaksanaan pendidikan
di negara-negara berkembang umumnya berasal dari warisan Kebijaksanaan
pendidikan kaum kolonial. Dikatakan demikian, oleh karena negara-negara
berkembang pada saat baru pertama kali merdeka belum sempat membangun
kebijaksanaan pendidikannya sendiri berdasarkan kebutuhan realistik rakyatnya.
Kemerdekaan yang telah dicapai di bidang politik tidak dengan sendirinya
diikuti oleh kemerdekaan di bidang lainnya, lebih-lebih dibidang pendidikan.
Achmad Icksan (1985)
mengidentifikasi ciri-ciri kebijaksanaan pendidikan yang merupakan warisan kaum
kolonial. Pertama, sifatnya yang elastis, atau lebih banyak memberikan
kesempatan kepada sekecil masyarakat dan tidak lebih banyak memberikan
kesempatan kepada sebagian besar masyarakat. Realitas demikian tampak mula-mula
pada awal-awal kemerdekaan terutama dalam hal kesempatan mendapatkan layanan
pendidikan, meskipun pengejawantahannya akhirnya lebih bersentuhan dengan
persoalan mutu pendidikan. Tampak sekali, bahwa layanan pendidikan yang
bermutu, tetap dinikmati oleh kalangan terbatas, sementara kalangan kebanyakan
sekedar mendapatkan layanan pendidikan yang dari segi kualitas sangat
memprihatinkan. Keluhan mengenai mutu pendidikan yang akhir-akhir ini pernah
mencuat ke permukaan, agaknya dapat dilihat dari sudut pandang ini.
Kedua, berorientasi
sosio-ekonomik. Orientasi sosio-ekonomik demikian, berkaitan erat dengan
jaringan ekonomi internasional di mana negara-negara maju berposisi sebagai
sentranya sementara negara-negara berkembang sekedar sebagai periferalnya.
Dalam kedudukan sebagai periferalnya, negara berkembang umumnya secara ekonomik
masih tinggi tingkat dependensinya terhadap negara maju. Bantuan-bantuan yang
diberikan dalam bentuk pinjaman bagi pelaksaan pendidikan di negara-negara
berkembang, umumnya justru memperkukuh dependensi tersebut. Jika secara
ekonomik hal demikian masih bergantung dan belum mandiri, maka dalam hal
strategi pencapaian tujuan pendidikannya pun juga masih tetap bergantung. Tidak
jarang, pembaruan-pembaruan dibidang pendidikan, umumnya dimulai dari negara
maju, dan begitu dinegara maju sudah ditinggalkan, baru mulai dan digalakkan
dinegara-negara berkembang. Negara-negara berkembang seolah-olah
terombang-ambing oleh pasang surutnya, naik turunnya dan jaya hancurnya
konsep-konsep mengenai pendidikan dinegara-negara maju.
Ketiga,
liberal, rasional, individual, achievemant oriented dan siasial alienated.
Ciri-ciri pendidikan demikian, umumnya berbeda dan bahkan berlawanan dengan
ciri-ciri masyarakat dan nilai-nilai yang berkembang dinegara-negara berkembang.
Pendidikannya liberal, padahal masyarakatnya menjunjung tinggi nilai-nilai
kolektivisme, pendidikannya menanamkan rasionalitas, padahal masyarakat
negara-negara berkembang banyak juga mempunyai budaya-budaya yang tidak saja
mengembangkan rasionalitas melainkan segi-segi emosional dan batiniah,
pendidikannya individual padahal masyarakatnya menjunjung tinggi kesetiakawanan
sosial dan gotong royong, pendidikannya achievement oriented secara sempit
sekadar prestasi akademik di kelas.
Keempat, tidak berakar pada
tradisi dan budaya setempat. Hal demikian sangat memprihatinkan, oleh karena
pendidikan pada dasarnya adalah pewarisan budaya dari generasi sebelumnya
kepada generasi sesudahnya atau penerusnya. Oleh karena tidak berakar pada
tradisi dan budaya setempat, maka para siswanya bisa mengalami keterasingan
budaya.
Kelima, berorientasi pada
masyarakat kota. Ini juga sangat memprihatinkan mengingat sebagian besar
wilayah negara-negara berkembang justru terdiri dari pedesaan. Orientasi ke
kota demikian, lambat atau cepat, langsung maupun tidak langsung, bisa
menjadikan penyebab lulusan-lulusan pendidikan lebih tertarik dengan kehidupan
kota ketimbang bangga membangun desanya. Tingginya angka perpindahan penduduk
ke kota-kota besar, yang langsung menimbulkan efek-efek samping sosial, agaknya
juga dapat dilihat dari sudut pandang ini.
D. Masalah Umum Pendidikan di Negara Berkembang
Menurut Kadir dan Umar (1982) Beberapa masalah dan
kesulitan dalam uraian pokok secara garis besar adalah sebagai berikut:
1. Kurangnya
guru yang kualifaid. Beberapa Negara terbelakang sangat sedikit orang-orang
yang memiliki pendidikan cukise social up menjadi guru yang kompeten, karena
mereka menempati jabatan-jabatan diluar bidang pengajaran dengan gaji dan
prestise social yang tinggi. Sejak negara-negara terbelakang melakukan ekspansi
pendidikan, maka harus berusaha mendapatkan guru-guru dari Negara maju.
Walaupun hal itu bertentangan dengan watak nasionalistis,namun tampaknya itu
merupakan satu-satunya jalan keluar.
2. Kegagalan
sekolah dalam memelihara siswa sebenarnya sekolah-sekolah dasar kurang efektif
dalam menunjang gerak pembangunan, jika impaknya tidak tebukti dalam periode
waktu yang pantas. Cita-cita sekolah pada mulanya sukar meresap dan beberapa
factor kerja menghalanginya. Anak mungkin merupakan suat keuntungan ekonomi
bagi orang tua, dan sekolah. Rupa-rupanya dianggap sebagai suatu ancaman
terhadap kenyataan keuntungan ini:natau orang tua kuatis, bahwa ilmu
pengetahuan dan ide-ide baru itu bias mengasingkan anak dari
kebiasaan-kebiasaan tradisional keluarga. Agar efektif sekolah-sekolah itu
dihadiri secara teratur dan bersemangat, sekolah itu harus menjadi tempat yang
menyenangkan dan menguntungkan hal ini merupakan suatu kondisi yang tidak biasa
ditemui dinegara miskin.
3. Keadaan
kurikulum yang tidak sesuai permasalahn dasar kurikulum pada jenjang
pra-universitas meliputi sekitar perluasan penyesuaian budaya,
pendaherahan(loklisasi), dan penjuruhan (vokasionalisasi) kurikulum.
4. Ketimpangan kemajuan
desa dan kota. Didunia terbelakang terapat jurang perbedaan yang lebar, yaitu
kesenangan, kekayaan, kegembiraan, dan tebaran kelayakan terdapat di beberapa
puasat kota dan didesa atau tribal areas keterbelakangan meluas. Perbedaan yang
kontras antara gedung-gedung modern, jalan-jalan raya, transportasi dan
aktivitas budaya disebagian kota besar dan desa itu mengundang gaya tarik
wisatawan yang mengunjungi Negara yang kurang maju itu.
Menurut Tilaar (2002) Di bawah ini
akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di dunia berkembang secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang
memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan
dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik
(dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan
keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa
pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber
daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal
tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang
tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah
yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap
orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat
mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap
hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya,
seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti
program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah
jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan
bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan
sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya
efektifitas pendidikan di Negara
berkembang.
2. Efisiensi Pengajaran Di Negara Berkembang
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari
suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan
jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik
tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika
kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya,
hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran adalah mahalnya
biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar
dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan. Yang
juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia yang lebih baik.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita
tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga
pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara
tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi
yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang
diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative
tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang
optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan
efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas
keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara
efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah
diterapkan terhadap keluaran.
3. Standardisasi Pendidikan
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan, kita
juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya
setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil. Seperti yang
kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun
informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas
pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian
pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan
kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Penyebab rendahnya mutu pendidikan juga tentu tidah hanya sebatas yang kami
bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita.
Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar
permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita
dapat memperbaiki mutu pendidikan sehingga jadi kebih baik lagi.
4. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan
perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media
belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak
standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan
masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki
perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
5. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan.
Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan
tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan
pengabdian masyarakat. Bukan itu
saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Walaupun
guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan
tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai
cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan
yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga
dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
5. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya
kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan
Indonesia.
6. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana
fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun
menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika
siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah.
7. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada
tingkat Sekolah Dasar. Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat
terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat
pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan
kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut.
8. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan
Kebutuhan
Adanya
ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini
disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang
dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
9. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering
muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat
untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman
Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak
memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh
sekolah.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak
lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis
Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk
melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang
merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang
lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang
selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat
implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan
anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah.
Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah,
dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara
terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
DAFTAR RUJUKAN
Ayu, Dyah. Kebijakan Pendidikan di Negara Berkembang. (maharanihasan.blogspot.co.id/2011/04/kebijakan-pendidikan-di-negara.html),
(Online), diakses tanggal 3 September 2015
Imron, Ali. 2008. Kebijakan Pendidikan di Indonesia.
Jakarta: Bumi Aksara.
Tilaar, H. A. R. 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta:
Rineka Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar