Rabu, 30 Maret 2016

Kompensasi Sumber Daya Manusia

BAB II
KAJIAN TEORI
A.  Pengertian Kompensasi
Kompensasi merupakan komponen penting dalam hubungannya dengan karyawan. Kompensasi meliputi bentuk pembayaran tunai langsung, pembayaran tidak langsung dalam bentuk manfaat karyawan, dan insentif untuk memotifasi karyawan agar bekerja keras untuk mencapai produktivitas yang semakin tinggi. Jika dikelola dengan baik, kompensasi membantu perusahaan untuk mencapai tujuan dan memperoleh, serta memelihara, karyawan dengan baik, sebaliknya tanpa kompensasi yang cukup, karyawan yang ada sangat mungkin untuk meninggalkan perusahan dan untuk melakukan penempatan kembali tidaklah mudah. Akibat ketidakpuasan dalam pembayaran akan mengurangi kinerja, meningkatkan keluhan, penyebab mogok kerja, dan mengarah pada tindakan-tindakan fisi dan psikologis, seperti ketidakhadiran dan sebagainya (Sunyoto, 2012: 153).
Berikut ini beberapa pengertian kompensasi, yaitu:
1.      Menurut Cardoso (1999), kompensasi adalah segala sesuatu yang diterima oleh pekerja sebagai balas jasa atas kerja mereka.
2.      Menurut Marihot Tua E.H. (2005), kompensasi adalah keseluruhan balas jasa yang diterima oleh pegawai sebagai akibat dari pelaksanaan pekerjaan di organisasi dalam bentuk uang atau lainnya, yang dapat berupa gaji, upah, bonus insentif, dan tunjangan lainnya seperti tunjangan kesehatan, tunjangan hari raya, uang makan, uang cuti, dan lain-lain.
3.      Menurut S.Mangkuprawira (2011), kompensasi merupakan sesuatu yang diterima karyawan sebagai penukar dari kontribusi jasa mereka pada perusahaan.

B.  Tujuan Pemberian Kompensasi
Suatu organisasi dalam memberikan sejumlah kompensasi kepada karyawannya, tentu saja mempunyai maksud atau tujuan-tujuan tertentu, dimana tujuan tersebut merupakan konsekuensi yang harus dipikul oleh para karyawan.
Menurut T.Hani Handoko(1995) dalam Sunyoto (2012: 155-156) tujuan-tujuan yang hendak dicapai melalui administrasi kompensasi adalah:

1.      Memperoleh personalia yang qualified
Kompensasi perlu ditetapkan cukup tinggi untuk menarik para pelamar. Karena perusahan-perusahaan bersaing dalam pasar tenaga kerja, tingkat pengupahan harus sesuai dengan kondisi penawaran dan permintaan tenaga kerja. Kadang-kadang tingkat gaji relatif tinggi diperlukan untuk menarik para pelamar cakap yang sudah bekerja di berbagai perusahaan lain.
2.      Mempetahankan para karyawan yang ada sekarang
Jika tingkat kompensasi yang tidak kompetitif, maka banyak karyawan yang baik akan keluar. Untuk mencegah perputaran karyawan, pengupahan harus dijaga agar tetap kompetitif dengan perusahaan-perusahaan lain.
3.      Menjamin keadilan
Administrasi pengupahan dan penggajian berusaha untuk memenuhi prinsip keadilan. Keadilan atau konsistensi internal dan eksternal sangat penting diperhatikan dalam penentuan tingkat kompensasi.
4.      Menghargai perilaku yang diinginkan
Kompensasi hendaknya mendorong perilaku-perilaku yang diingikan. Prestasi kerja yang baik, pengalaman, kesetiaan, tanggungjawab baru dan perilaku-perilaku lainndapat dihargai melalui rencana kompensasi yang efektif.
5.      Mengendalikan biaya-biaya
Suatu program kompensasi yang rasional membantu organisasi untuk mendapatkan dan mempertahankan sumber daya manusia pada tingkat biaya yang layak. Tanpa struktur pengupahan dan penggajian sistematik organisasi dapat membayar kurang atau lebih kepada karyawan.
6.      Memenuhi peraturan-peraturan legal
Seperti aspek-aspek manajemen sumber daya manusia lainnya, administrasi kompensasi menghadapi batasan-batasan legal. Program kompensasi yang baik memerhatikan kendala-kendala tersebut dan memenuhi semua peraturan pemerintah yang mengatur kompensasi karyawan.

C.  Faktor-faktor yang Memengaruhi Penetapan Kompensasi
Istilah adil berarti bukan saja adil bagi masing-masing pegawai terhadap pegawai yang lainnya, berhubung dengan sulitnya pekerjaan dan beratnya tanggung jawab, tetapi juga adil bagi perusahaan yang bersangkutan. Untuk tercapainya keadilan tersubut, maka ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan dalam penetapan tingkat upah seorang pegawai, yaitu pendidikn, pengalaman, tanggungan, kemampuan perusahaan, keadaan ekonomi, dan kondisi-kondisi pekerjaan Moekijat (1999) dalam Sunyoto (2012: 157-158).
1.      Pendidikan, Pengalaman, dan Tanggungan
Ketiga faktor tersebut harus mendapatkan perhatian. Bagaimanapun juga tingkat upah seorang sarjana dari yang belum sarjana harus dibedakan, demikian pen antara yang berpengalaman dengan yang belum berpengalaman. Khalayak umum sudah menganggap suatu keadilan bahwa pegawai yang mempunyai tanggungan keluarga besar mempunyai upah yang lebih besar dari kawan sekerjanya yang mempunyai tanggungan keluarga yang kecil.
2.      Keadaan Ekonomi
Keadaan ekonomi atau ongkos hidup adalah salah satu faktor penting dalam realisasi keadilan dalam pemberian upah.
3.      Kondisi-kondisi Pekerjaan
Orang yang bekerja di daerah terpencil atau di lingkungan pekerjaan yang berbahaya harus memperoleh upah yang lebih besar daripada mereka yang bekerja di daerah yang ada tempat-tempat hiburan atau di lingkungan pekerjaan yang tidak berbahaya.

D.  Langkah-langkah Penentuan Kompensasi
Penentuan kompensasi yang pasti, tidak hanya memberikan rasa bagi pegawai atau karyawan saja, tetapi bagi perusahaan dapat digunakan untuk menetapkan berapa besar anggaran biaya pegawai yang harus dikeluarkan oleh perusahaan secara periodik. Untuk penentuan komponsasi tersebut, ada beberapa langkah yang dapat digunakan, yaitu menganalisis jabatan, mengevaluasi jabatan, melakukan survei gaji dan upah, dan menentukan tingkat gaji (Marihot Tua, 2005) dalam Sunyoto (2012: 158-161).
1.      Menganalisis Jabatan
Analisis jabatan sebagaimana telah dijelaskan merupakan kegiatan untuk mencari informasi tentang tugas-tugas yang dilakukan dan persyaratan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas tersebut supaya berhasil untuk mengembangkan uraian tugas, spesifikasi tugas, dan stantar untuk kerja. Kegiatan ini perlu dilakukan sebagai landasan untuk mengevaluasi jabatan.
2.      Mengevaluasi Jabatan
Evaluasi jabatan adalah proses sistematis untuk menentukan nilai relatif dari suatu pekerjaan dibandingkan dengan pekerjaan lain. Proses ini adalah untuk mengusahakan tercapainya internal equity dalam pekerjaan sebagaimana unsur  yang sangat penting dalam penentuan tingkat gaji. Dalam menentukan penilaian pekerjaan ditemukan beberapa metode, yaitu:
a.       Metode pemeringkatan (job ranking) adalah menilai tingkat kepentingan secara umum dari suatu pekerjaan dibandingkan dengan yang lain atau mengurutkan pekerjaan menurut tingkat kepentingannya dengan cara mempelajari informasi analisis jabatan, yaitu job description, job specification, dan job performance standard, kemudian secara subyektif pekerjaan mana yang lebih penting diurutkan dibandingkan dengan yang lain.
b.      Metode pengelompokan (job grading) adalah menetapkan suatu pekerjaan dalam kategori atau klasifikasi atau kelompok. Kelompok-kelompok itu disebut kelas jika berisi jabatan yang sama, dan disebut tingkatan jika berisi jabatan yang berbeda tetapi mempunyai kesulitan yang sama.
c.       Metode perbangdingan faktor-faktor adalah membandingkan beberapa faktor dalam pekerjaan yang dapat dikompensasikan, misalnya beberapa pekerjaan kunci dibandingakan dengan beberapa faktor yang dapat dikompensasi seperti tanggung jawab, skill, tingkat usaha, dan kondisi kerja.
d.      Metode penentuan poin (point system) adalah dilakukan dengan cara menentukan point atau angka untuk faktor-faktor yang dapat dikopmpensasikan, berbeda dengan perbandingan faktor-faktor yang langsung menentukan tarif gaji untuk setiap faktor. Perbedaan lain setiap faktor dapai di kompensasi dipecah dalam bentuk subfaktro yang lebih rici.
3.      Melakukan Survey Gaji dan Upah
Survei gaji dan upah merupakan kegiatan untuk mengetahui tingkat gaji yang berlaku secara umum dalam perrusahaan-perusahaan yang mempunyai jabatan yang sejenis. Ini dilakukan  untuk mengusahakan keadilan eksternal sebagai salah satu faktor penting dalam perencanaan dan penentuan gaji dan upah. Survei dapat dilakukan dengan berbagai macam cara seperti mendatangi perusahaan-perusahaan untuk mendapatkan informasi mengenai tingkat gaji dan upah yang berlaku, membuat kuesioner secara formal dan sebagainya.
4.      Menentukan Tingkat Gaji
Untuk menciptakan keadilan internal yang menghasilkan rangking jabatan, dan melakukan survei tentang gaji yang berlaku di pasar tenaga kerja, selanjutnya adalah penentuan gaji, misalnya untuk penggunaan metode poin, faktor-faktor pekerjaan telah ditentukan poinnya dan jabatan-jabatan kunci telah diketahui harga pasarnya berdasarkan survey yang dilakukan. Selanjutnya berdasarkan poin yang sudah ditentu dengan cara mempelajari informasi analisis jabatn seperti job description, job spesification, dan job performance standart, setiap pekerjaan ditentukan poinnya.

E.  Imbalan Intrinsik dan Ekstrinsik
Ada dua jenis imbalan, yaitu imbalan intrinsik dan imbalan ekstrinsik. Kendatipun imbalan intrinsik berbeda dengan imbalan ekstrinsik, kedua imbalan itu sangat berkaitan. Penyediaan imbalan ekstrinsik memberikan imbalan intrinsik bagi penerimanya. Contohnya adalah seorang karyawan yang menerima imbalan ekstrinsik dalam bentuk kenaikan gaji mungkin pula mengalami perasaan pencapaian pribadi (imbalan intrinsik) dengan mempersepsikan kenaikan gaji itu sebagai tanda prestasi kerja yang baik (Simamora, 2004) dalam Sunyoto, (2012: 161).
1.      Imbalan Intrinsik
Pengertian dari imbalan intrinsik adalah imbalan yang dinilai di dalam dan dari mereka sendiri. Imbalan intrinsik bersifat internal bagi individu dan normalnya berasal dari keterlibatan dalam aktivitas-aktivitas atau tugas tertentu. Imbalan intrinsik melekat pada aktivitas itu sendiri dan pemberiannya tidak tergantung pada kehadiran atau tindakan orang lain atau hal lainnya. Imbalan ekstrinsik berpotensi untuk memberikan pengaruh yang kuat terhadap perilaku individu di dalam organisasi, dan memilika beberapa manfaat sebagai alat imbalan dan motivasi kerja yang efektif. Manfaatnya melekat pada kenyataan, bahwa imbalan instrinsik adalah self administered dan dialami langsung akibat pelaksanaan pekerjaan yang efektif.
Alat utama untuk memperkuat kemungkinan bahwa orang-orang akan mendapatkan imbalan instrinsik dari pekerjaan mereka terletak dalam cara-cara organisasi merancang pekerjaan anggota-anggotanya. Sifat pekerjaan itu sendiri tampaknya merupakan determinan utama dari tingkat kemampuan seseorang untuk mengalami imbalan intrisik. Oleh karena itu instrumen utama untuk meningkatkan motivasi dan kinerja melalui aplikasi imbalan intrinsik terletak pada rancangan pekerjaan itu sendiri.
2.      Imbalan Ekstrinsik
Imbalan ekstrinsik dihasilkan secara eksternal oleh seseorang atau sesuatu yang lainnya. Imbalan ekstrinsik tidak mengikuti kinerja sebuah aktivitas secara alamiah atau secara inheren, namun diberikan kepada seseorang oleh pihak eksternal atau dari luar. Sebagian besar imbalan ekstrinsik dikendalikan dan dibagikan secara langsung oleh oleh organisasi dan lebih berwujud daripada imbalab intrinsik. Imbalan ekstrinsik sering diaplikasikan oleh organisasi dalam usaha untuk memengaruhi perilaku dan kinerja anggotanya. Uang merupakan imbalan ekstrinsik yang paling sering digunakan di dalam organisasi dan diberikan dalam bermacam-macam bentuk dan dengan berbagai jenis. Gaji, bonus, dan program pembagian keuntungan merupakan indikasi di mana uang dimaanfaatkan sebagai imbalan ekstrinsik di dalam organisasi.

F.   Kompensasi dan Kepuasan
Kepuasan (satisfaction) merupakan istilah evaluatif yang menggambarkan suatu sikap suka atau tidak suka. Kepuasan bayaran oleh karenanya, mengacu pada sikap suka atau tidak suka terhadap sistem kompensasi organisasi. Edward Lawler dikutip oleh Simamora (2004) membuat sebuah model berdasarkan teori ekuitas yang mulai menjelaskan sebab-sebab kepuasan dan ketidakpuasan gaji. Menurut Lawler, perbedaan antara jumlah yang diterima oleh para karyawan dan jumlah yang mereka duga diterima oleh orang lain menyebabkan penyebab langsung kepuasan ataupun ketidakpuasan gaji. Jika mereka merasa bahwa jumlah keduanya setara, mak terdapat kepuasan gaji. Antisipasi kepuasan gaji akan memengaruhi keputusan karyawan tentang seberapa keras dia akan bekerja. Kompensasi memengaruhi kepuasan dan bertindak sebagai umpan balik yang memampukan kalangan karyawan menyesuaikan perilakunya belakangan. Jika mereka menyimpulkan bahwa mereka dibayar terlalu sedikit, mereka mungkin akan sering absen atau mengundurkan diri. Sekiranya para karyawan menyadari bahwa mereka ternyata dibayar sangat mahal, mereka mungkin akan bosan atau mengompensasikannya dengan bekerja lebih keras.
DAFTAR RUJUKAN
Keuangan Universitas Jember. 2014. Gaji dan Tunjangan PNS dalam ASN, (online), (http://keuangan.unej.ac.id/gaji-dan-tunjangan-pns-dalam-uu-asn/), di akses 10 September 2015.
Panggabean, Mutiara S. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Cetakan Pertama. Jakarta: Ghalia Indonesia
Sunyoto, Danang. 2012. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Center   for Academic Publishing

Minggu, 20 Maret 2016

Kebijakan Pendidikan di Negara Berkembang

BAB II
PEMBAHASAN


A.      Pengertian Kebijakan Pendidikan
Secara etimologis kata kebijakan disepadankan dengan kata bahasa Inggris policy yang dibedakan dari kata wisdom yang berarti kebijaksanaan atau kearifan. Kata policy dapat pula dijumpai dalam bahasa-bahasa lain seperti latin, yunani dan sankrit. Polita dalam bahasa latin berarti Negara. Polis dalam bahasa yunani berarti negara kota. Pur dalam bahasa sanskrit berarti kota. Policie dalam bahasa inggris berarti: mengurus masalah atau kepentingan umum atau juga administrasi Negara.
Menurut Supandi, dari beberapa kata yang tersebut menghasilkan tiga jenis pengertian yang sekarang kita kenal, yaitu politic, policy dan polici. Politic berarti seni dan ilmu pemerintahan, policy berarti hal-hal mengenai kebijakan pemerintah, sedangkan polici berarti hal-hal yang berkenaan dengan pemerintahan.Sedangkan secara terminologis istilah kebijakan memiliki arti yang sangat beragam diantaranya: Menurut Ealau dan Prewitt, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu). Kamus Webster memberi pengertian kebijakan sebagai prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Titmuss mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu. Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented).
Pendidikan di Indonesia mengemukakan pengertian kebijakan dari beberapa ahli, diantaranya:
1.      Laswell (1970) , kebijakan sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktik yang terarah (a projected program of goals value and practies).
2.      Anderson (1979), Kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang mesti diikuti dan diakukan para pelakunya untuk memecahkan suatu masalah. (a purposive corse of problem or matter of concern).
3.      Helco (1977), memberiakan batasan kebijakan sebagai cara bertindak yang
sengaja dilaksanakan untuk menyelesaikan masalah-masalah.
4.      Amara Raksasa Taya (1976) memberikan batasan kebijakan sebagai suatu taktik atau strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan.
5.      Friedrik (1963) memberikan batasan kebijaksanaan sebagai serangkaian tindakan yang diajukan oleh seseorang, grup dan pemerintahan dalam lingkungan tertentu dengan mencantumkan kendala-kendala yang dihadapi serta kesempatan yang memungkinkan pelaksanaan usulan tersebut dalam upaya mencapai tujuan. (a proposes course of action of a person, group, or govermen with is given environment providing abtacles and aportunities with the policy was proposed to utilize on objective or purpose).
Dari banyak pengertian tentang kebijakan di atas banyak pemaparan yang sama
yaitu gambaran bahwa kebijakan adalah su
atu proses yang sangat panjang dan kepentingan yang beragam. Di dalamnya terdapat ketetapan-ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
Ali Imron dalam bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan menjelaskan bahwa kebijakan pendidikan adalah salah satu kebijakan Negara. Carter V Good (1959) memberikan pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) sebagai suatu pertimbangan yang didasarkan atas system nilai dan beberapa penilaian atas faktor-faktor yang bersifat situasional, pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengopersikan pendidikan yang bersifat melembaga. Pertimbangan tersebut merupakan perencanaan yang dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil keputusan, agar tujuan yang bersifat melembaga bisa tercapai.
Kebijakan pendidikan sangat erat hubungannya dengan kebijakan yang ada dalam lingkup kebijakan publik, misalnya kebijakan ekonomi, politik, luar negeri, keagamaan dan lain-lain. Konsekuensinya kebijakan pendidikan di Indonesia tidak bisa berdiri sendiri. Ketika ada perubahan kebijakan publik maka kebijakan pendidikan bisa berubah. Ketika kebijakan politik dalam dan luar negeri, kebijakan pendidikan biasanya akan mengikuti alur kebijakan yang lebih luas. Bahkan pergantian menteri dapat pula mengganti kebijakan yang telah mapan pada jamannya. Bukan hal yang aneh,ganti menteri berganti kebijakan. Masih ingat di benak kita ada pelajaran PSPB yang secara prinsipil tidak jauh berbeda dengan IPS sejarah dan lucunya materi itu pun di pelajari di PMP (sekarang PKN/PPKN).

B. Pengertian Negara Berkembang
Negara berkembang adalah sebuah negara dengan rata-rata pendapatan yang rendah, infrastruktur yang relatif terbelakang, dan indeks perkembangan manusia yang kurang dibandingkan dengan norma global. Istilah ini mulai menyingkirkan Dunia Ketiga, sebuah istilah yang digunakan pada masa Perang Dingin.
Perkembangan mencakup perkembangan sebuah infrastruktur modern (baik secara fisik maupun institusional) dan sebuah pergerakan dari sektor bernilai tambah rendah seperti agrikultur dan pengambilan sumber daya alam. Negara maju biasanya memiliki sistem ekonomi berdasarkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan menahan-sendiri. Penerapan istilah 'negara berkembang' ke seluruh negara yang kurang berkembang dianggap tidak tepat bila kasus negara tersebut adalah sebuah negara miskin, yaitu Negara yang tidak mengalami pertumbuhan situasi ekonominya, dan juga telah mengalami periode penurunan ekonomi yang berkelanjutan (Anan, 2010)

C.  Kebijaksanaan Pendidikan di Negara-Negara Berkembang
            Kebijaksanaan pendidikan di negara-negara berkembang umumnya berasal dari warisan Kebijaksanaan pendidikan kaum kolonial. Dikatakan demikian, oleh karena negara-negara berkembang pada saat baru pertama kali merdeka belum sempat membangun kebijaksanaan pendidikannya sendiri berdasarkan kebutuhan realistik rakyatnya. Kemerdekaan yang telah dicapai di bidang politik tidak dengan sendirinya diikuti oleh kemerdekaan di bidang lainnya, lebih-lebih dibidang pendidikan.
            Achmad Icksan (1985) mengidentifikasi ciri-ciri kebijaksanaan pendidikan yang merupakan warisan kaum kolonial. Pertama, sifatnya yang elastis, atau lebih banyak memberikan kesempatan kepada sekecil masyarakat dan tidak lebih banyak memberikan kesempatan kepada sebagian besar masyarakat. Realitas demikian tampak mula-mula pada awal-awal kemerdekaan terutama dalam hal kesempatan mendapatkan layanan pendidikan, meskipun pengejawantahannya akhirnya lebih bersentuhan dengan persoalan mutu pendidikan. Tampak sekali, bahwa layanan pendidikan yang bermutu, tetap dinikmati oleh kalangan terbatas, sementara kalangan kebanyakan sekedar mendapatkan layanan pendidikan yang dari segi kualitas sangat memprihatinkan. Keluhan mengenai mutu pendidikan yang akhir-akhir ini pernah mencuat ke permukaan, agaknya dapat dilihat dari sudut pandang ini.
            Kedua, berorientasi sosio-ekonomik. Orientasi sosio-ekonomik demikian, berkaitan erat dengan jaringan ekonomi internasional di mana negara-negara maju berposisi sebagai sentranya sementara negara-negara berkembang sekedar sebagai periferalnya. Dalam kedudukan sebagai periferalnya, negara berkembang umumnya secara ekonomik masih tinggi tingkat dependensinya terhadap negara maju. Bantuan-bantuan yang diberikan dalam bentuk pinjaman bagi pelaksaan pendidikan di negara-negara berkembang, umumnya justru memperkukuh dependensi tersebut. Jika secara ekonomik hal demikian masih bergantung dan belum mandiri, maka dalam hal strategi pencapaian tujuan pendidikannya pun juga masih tetap bergantung. Tidak jarang, pembaruan-pembaruan dibidang pendidikan, umumnya dimulai dari negara maju, dan begitu dinegara maju sudah ditinggalkan, baru mulai dan digalakkan dinegara-negara berkembang. Negara-negara berkembang seolah-olah terombang-ambing oleh pasang surutnya, naik turunnya dan jaya hancurnya konsep-konsep mengenai pendidikan dinegara-negara maju.
            Ketiga, liberal, rasional, individual, achievemant oriented dan siasial alienated. Ciri-ciri pendidikan demikian, umumnya berbeda dan bahkan berlawanan dengan ciri-ciri masyarakat dan nilai-nilai yang berkembang dinegara-negara berkembang. Pendidikannya liberal, padahal masyarakatnya menjunjung tinggi nilai-nilai kolektivisme, pendidikannya menanamkan rasionalitas, padahal masyarakat negara-negara berkembang banyak juga mempunyai budaya-budaya yang tidak saja mengembangkan rasionalitas melainkan segi-segi emosional dan batiniah, pendidikannya individual padahal masyarakatnya menjunjung tinggi kesetiakawanan sosial dan gotong royong, pendidikannya achievement oriented secara sempit sekadar prestasi akademik di kelas.
Keempat, tidak berakar pada tradisi dan budaya setempat. Hal demikian sangat memprihatinkan, oleh karena pendidikan pada dasarnya adalah pewarisan budaya dari generasi sebelumnya kepada generasi sesudahnya atau penerusnya. Oleh karena tidak berakar pada tradisi dan budaya setempat, maka para siswanya bisa mengalami keterasingan budaya.
            Kelima, berorientasi pada masyarakat kota. Ini juga sangat memprihatinkan mengingat sebagian besar wilayah negara-negara berkembang justru terdiri dari pedesaan. Orientasi ke kota demikian, lambat atau cepat, langsung maupun tidak langsung, bisa menjadikan penyebab lulusan-lulusan pendidikan lebih tertarik dengan kehidupan kota ketimbang bangga membangun desanya. Tingginya angka perpindahan penduduk ke kota-kota besar, yang langsung menimbulkan efek-efek samping sosial, agaknya juga dapat dilihat dari sudut pandang ini.

D. Masalah Umum Pendidikan  di Negara Berkembang
Menurut Kadir dan Umar (1982) Beberapa masalah dan kesulitan dalam uraian pokok secara garis besar adalah sebagai berikut:
1.    Kurangnya guru yang kualifaid. Beberapa Negara terbelakang sangat sedikit orang-orang yang memiliki pendidikan cukise social up menjadi guru yang kompeten, karena mereka menempati jabatan-jabatan diluar bidang pengajaran dengan gaji dan prestise social yang tinggi. Sejak negara-negara terbelakang melakukan ekspansi pendidikan, maka harus berusaha mendapatkan guru-guru dari Negara maju. Walaupun hal itu bertentangan dengan watak nasionalistis,namun tampaknya itu merupakan satu-satunya jalan keluar.
2.    Kegagalan sekolah dalam memelihara siswa sebenarnya sekolah-sekolah dasar kurang efektif dalam menunjang gerak pembangunan, jika impaknya tidak tebukti dalam periode waktu yang pantas. Cita-cita sekolah pada mulanya sukar meresap dan beberapa factor kerja menghalanginya. Anak mungkin merupakan suat keuntungan ekonomi bagi orang tua, dan sekolah. Rupa-rupanya dianggap sebagai suatu ancaman terhadap kenyataan keuntungan ini:natau orang tua kuatis, bahwa ilmu pengetahuan dan ide-ide baru itu bias mengasingkan anak dari kebiasaan-kebiasaan tradisional keluarga. Agar efektif sekolah-sekolah itu dihadiri secara teratur dan bersemangat, sekolah itu harus menjadi tempat yang menyenangkan dan menguntungkan hal ini merupakan suatu kondisi yang tidak biasa ditemui dinegara miskin.
3.    Keadaan kurikulum yang tidak sesuai permasalahn dasar kurikulum pada jenjang pra-universitas meliputi sekitar perluasan penyesuaian budaya, pendaherahan(loklisasi), dan penjuruhan (vokasionalisasi) kurikulum.
4.    Ketimpangan kemajuan desa dan kota. Didunia terbelakang terapat jurang perbedaan yang lebar, yaitu kesenangan, kekayaan, kegembiraan, dan tebaran kelayakan terdapat di beberapa puasat kota dan didesa atau tribal areas keterbelakangan meluas. Perbedaan yang kontras antara gedung-gedung modern, jalan-jalan raya, transportasi dan aktivitas budaya disebagian kota besar dan desa itu mengundang gaya tarik wisatawan yang mengunjungi Negara yang kurang maju itu.
Menurut Tilaar (2002) Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di dunia berkembang secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Negara berkembang.

2. Efisiensi Pengajaran Di Negara Berkembang
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia yang lebih baik.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
3.  Standardisasi Pendidikan
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil. Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Penyebab rendahnya mutu pendidikan  juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan sehingga jadi kebih baik lagi.
4.  Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.

5.  Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat. Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.

5.  Rendahnya Kesejahteraan Guru
            Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia.

6.  Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah.

7.  Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.

8.  Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
            Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.

9.  Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.

DAFTAR RUJUKAN

            Ayu, Dyah. Kebijakan Pendidikan di Negara Berkembang. (maharanihasan.blogspot.co.id/2011/04/kebijakan-pendidikan-di-negara.html), (Online), diakses tanggal 3 September 2015
Imron, Ali. 2008. Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Tilaar, H. A. R. 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.